Monogami vs Poligami: Tinjauan Pernikahan dari Perspektif Evolusi

C
4 min readApr 26, 2021

--

Ilustrasi Monogami vs Poligami. (Foto: https://pixabay.com)

Akhir-akhir ini kasus perselingkuhan sedang marak diberitakan di media Indonesia. Video peristiwa pencegatan mobil hingga buka suara kerap kali muncul di laman sosial media kita. Video dan berita tersebut menunjukkan adanya campur tangan pihak lain dalam suatu hubungan yang biasa disebut dengan ‘orang ketiga’. Beberapa cuitan pun ikut meramaikan kasus perselingkuhan yang sedang beredar, seperti pada akun @adiktifpooh ‘Gosipnya, Rachel Vennya cerai gara2 suaminya selingkuh dan gue lagi2 kembali teringat quote dari drakor Love Affairs In The Afternoon: Cheating is like an addiction. Once you fall into it, you won’t stop. So, never, ever, start something that will not have a happy ending’ dan akun @dyprafa, ‘the fact that her ugly husband still cheated on her shows us that being pretty and smart won’t make him stay. Once a cheater will always be a cheater’.

Lalu, apakah manusia memang ditakdirkan untuk hanya memiliki satu pasangan?

Berdasarkan pemilihan lawan jenis, sistem perkawinan (mating systems) pada hewan (penulis mengambil perspektif dengan menaruh manusia sebagai bagian kingdom animalia) dapat dibagi menjadi 2, yaitu sistem perkawinan antara satu jantan dengan satu betina (monogami) dan perkawinan antara lebih dari satu pasangan (poligami). Poligami dapat dibagi lagi menjadi 3, yaitu sistem perkawinan antara satu jantan dengan beberapa betina (poligini), satu betina dengan beberapa jantan (poliandri), dan baik jantan maupun betina memiliki beberapa pasangan (promiskuitas). Sistem perkawinan merupakan hasil seleksi alam untuk menentukan pasangan dan memaksimalkan tingkat kesuksesan reproduksi pada suatu spesies. Seorang ahli genetika populasi, Michael Hammer memberikan penjelasan bahwa sistem perkawinan manusia dapat dianggap poligini dan kita mewariskan sistem perkawinan tersebut dari kelompok primata yang cenderung poligini juga. Hammer membandingkan variasi kromosom X pada 90 orang dari 6 kelompok, yaitu Melanesian, Basque, Han Chinese, Mandenka, Biaka, dan San. Jumlah variasi genetik tersebut ternyata melebihi dari perhitungan perkiraan apabila manusia melakukan sistem perkawinan monogami. Pola dimorfisme seksual pada manusia juga dapat menjadi penanda bahwa sistem perkawinan manusia merupakan poligami, lebih spesifiknya poligini. Dimorfisme seksual merupakan perbedaan yang muncul seperti ukuran, warna, bentuk, dan struktur antara betina dan jantan pada spesies yang sama. Semakin besar perbedaan yang terlihat, maka semakin besar persaingan yang dilakukan jantan untuk mendapatkan betina. Umumnya jantan dominan atau alpha male akan memiliki beberapa pasangan (poligini). Kemudian, pertanyaan yang menariknya adalah mengapa beberapa laki-laki melakukan praktik poligini?

Jared Diamond dalam bukunya Why is Sex Fun: The Evolution of Human Sexuality, menjelaskan ada beberapa pilihan yang ditawarkan ketika satu pasangan melakukan perkawinan. Pertama, bersama-sama memberikan pengasuhan pada keturunan yang dihasilkan. Kedua, hanya betina yang memberikan pengasuhan. Ketiga, hanya jantan yang memberikan pengasuhan. Pada manusia, perempuan akan mengandung bayinya lebih kurang 9 bulan dan harus memberi laktasi beberapa tahun setelah melahirkan. Anak-anak manusia dilahirkan nyaris tidak berdaya dan melewati masa kanak-kanak yang lebih lama. Berdasarkan anatomi, fisiologi, dan naluriah perempuan secara tidak langsung terprogram secara genetis untuk melakukan pengasuhan. Dari ketiga pilihan yang disediakan, tersisa dua pilihan yang dapat dilakukan oleh laki-laki, yaitu bersama-sama dengan perempuan untuk memberikan pengasuhan atau membiarkan perempuan melakukan pengasuhan sendirian. Laki-laki memiliki pilihan untuk menginvestasikan waktu dan tenaganya untuk membesarkan keturunan bersama perempuan atau meninggalkan perempuan dan menginvestasikan waktu dan tenaganya untuk memiliki keturunan yang lebih banyak lagi dengan pasangan yang berbeda. Richard Dawkins dalam bukunya Selfish Gene, juga menjelaskan bahwa kita adalah mesin kelestarian. Dawkins menggambarkan tubuh kita sebagai mesin egois yang secara tidak sadar berusaha untuk menduplikasikan gen-gen yang ada ke keturunan selanjutnya. Semakin sedikit investasi yang dilakukan pada satu anak, semakin banyak jumlah anak yang dapat ia punya.

Meskipun demikian menurut seorang paleontologis, Owen Lovejoy, sistem perkawinan manusia telah berubah sekitar 4,4 juta tahun yang lalu ketika nenek moyang kita Ardipithecus ramidus. Secara ekonomi dan energi, monogami dipandang lebih hemat dan efisien karena laki-laki tidak perlu membuang-buang waktu untuk memperebutkan perempuan. Di masa modern ini, praktik monogami lebih banyak diterapkan dibandingkan poligami, walaupun 58 dari 200 negara berdaulat melegalkan adanya praktik poligami. Di Indonesia sendiri, praktik poligami masih menjadi persoalan khusus bagi kaum perempuan. Praktik poligami merupakan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang sekaligus merendahkan martabat perempuan. Peran perempuan sebagai sosok yang secara tidak langsung memiliki tanggung jawab lebih atas pengasuhan anak tidak menjadi alasan bagi laki-laki untuk memiliki pasangan yang berbeda pula. Laki-laki juga memiliki tanggung jawab dalam pengasuhan anak, seperti memberikan perlindungan dan rasa nyaman, mendidik anak, memenuhi kebutuhan ekonomi, emosional, dan lain-lain. Ketika seorang perempuan dan laki-laki setuju untuk menjalani hubungan ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan, mereka secara sadar setuju untuk hidup dalam satu ikatan keluarga membentuk rumah tangga. Menjadi orang tua tunggal sangat sulit. Akan sangat egois apabila seorang laki-laki meninggalkan ikatan keluarga yang ia punya hanya dan hanya karena untuk mendapatkan pasangan lain.

Daftar Acuan:

Callaway, E. 2008. Polygamy left its mark on the human genome. online. https://www.newscientist.com/article/dn14817-polygamy-left-its-mark-on-the-human-genome/ diakses pada 09 Februari 2021.

Dawkins, Richard. 2018. The Selfish Gene: Gen Egois. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.

Diamond, Jared M. 1997. Why Is Sex Fun?: The Evolution of Human Sexuality. New York, NY: Basic Books.

Krasnec, M. O., Cook, C. N. & Breed, M. D. 2012. Mating Systems in Sexual Animals. Nature Education Knowledge 3(10):72.

Reville, W. 2018. Are humans naturally monogamous or polygamous?. online. https://www.irishtimes.com/news/science/are-humans-naturally-monogamous-or-polygamous-1.3643373 diakses pada 09 Februari 2021.

--

--